Angka & Data Pengangguran 2016

Angka Pengangguran di Jawa Barat Bertambah

Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mencatat jumlah pengangguran terbuka di Jawa Barat pada Februari 2016 bertambah 23.783 orang dibanding periode yang sama setahun sebelumnya. Tercatat pada Februari 2015 jumlah pengangguran di Jabar mencapai 1.875.924 orang yang kemudian naik menjadi 1.899.707 pada Februari 2016. Penambahan tersebut menyebabkan Jabar menempati posisi ketiga secara nasional yang memiliki angka pengangguran tertinggi.

Kepala BPS Jabar Bachdi Ruswana menuturkan pada Februari 2016 diperkirakan terdapat 20.277.112 orang penduduk yang bekerja. Jumlah tersebut berkurang 179.777 orang dibandingkan dengan keadaan tahun sebelumnya yang pada Februari 2015 penduduk yang bekerja sebanyak 20.456.889 orang.
“Seperti yang kita ketahui, tahun lalu karena kondisi ekonomi terjadi pemutusan hubungan kerja di sejumlah daerah,” katanya saat jumpa pers mengenai Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Tendensi Konsumen, dan Keadaan Ketenagakerjaan, Rabu 4 Rabu 2016.

Kondisi tersebut tampak dari menurunnya persentase penduduk yang bekerja pada sektor industri yang turun 20,88 persen pada Februari 2015 menjadi 19,64 persen pada Februari 2016. Penurunan juga terjadi si sektor pertanian yang turun dari 20,37 persen menjadi 17,47 persen. Sementara, pada sektor perdagangan meningkat dari 25,26 persen menjadi 28,58 persen.
“Tercatat ada 153.780 yang diphk dan 123.082 diantaranya kembali terserap. Sedangkan sisanya masuk ke sektor perdagangan,” ujar Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Jabar Dyah Anugrah Kuswardani.

Kondisi yang terjadi di Jabar tersebut berbanding terbalik dengan perkembangan di tingkat nasional yang justru jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2016 berkurang 430.000 orang, dibandingkan Februari 2015.

"Jumlah pengangguran pada Februari 2016 tercatat 7,02 juta orang, dengan persentase 5,5% (dari total angkatan kerja). Realisasi tersebut, terjadi penurunan 430.000 dibandingkan dengan Februari 2015 yang sebesar 7,45 juta orang dengan persentase 5,81%," ujar Kepala BPS Suryamin melalui video conference.

Pengangguran Di Bali Pada Februari 2016 Membeludak, Ini Pemicunya

Badan Pusat Statistik Bali mencatat, jumlah pengangguran di daerah ini pada Februari 2016 mengalami peningkatan sebanyak 50.402 orang, atau naik 50% dibandingkan Februari 2015, 33.611 orang.

‎Diduga, peningkatan itu disebabkan kondisi musim bercocok tanah yang berbeda dan sejumlah perayaan hari keagamaan pada saat pencacahan statistik dilakukan.

Kabid Neraca Wilayah dan Analisis Statistik‎ BPS Bali Didik Nursetyohadi‎ ‎menuturkan ketika ada upacara keagamaan, banyak warga yang memilih berhenti bekerja.

"Mungkin mereka pulang kampung atau berhenti, itu yang menyebabkan jumlah pengangguran meningkat," jelasnya Rabu (4/5/2016).

Analisis tersebut didasarkan dari banyaknya pekerja bebas dan pekerja tidak dibayar yang jumlahnya menurun pada Februari 2016. Dari total angkatan kerja 2.338.064 orang, pekerja tak dibayar jumlahnya 305.130 orang, atau turun 10,10% dibandingkan periode sama tahun lalu 336.974 orang.

Adapun sektor yang jumlah pekerjanya mengalami penurunan, yakni industri, keuangan, konstruksi, perdagangan, serta pertambangan dan penggalian yang masing-masing turun 17,4%, 10,12%, 9,93%, 4,94%, 1,91%, dan 33,3%.

Kabar baiknya, meskipun bertambah tetapi tingkat penganguran di Bali terendah kedua di Indonesia. Namun, daerah ini tetap harus waspada, karena penduduk yang bekerja di sektor informal mencapai 53,07%, sedangkan di sektor formal 46,93%.

Penduduk bekerja di sektor formal didominasi sebagai buruh atau karyawan, sedangkan sektor informasi didominasi sebagai buruh tidak tetap 19,41%, berusaha sendiri 13,94%, dan pekerja keluarga tidak dibayar 13,08%.



Pengangguran Sumut Bertambah 7.000 Orang

Jumlah pengangguran terbuka di Sumatera Utara pada posisi Februari 2016 bertambah 7.000 orang dari periode sama tahun 2015 atau mencapai 428.000 orang.

"Pengangguran itu terlihat dari jumlah angkatan kerja yang sebanyak 6.594.000 orang sementara yang bekerja hanya 6.166 orang," kata Kepala Badan Pusat Statistisk (BPS) Sumut, Wien Kusdiatmono di Medan, Rabu (4/5).

Pada Februari 2015, jumlah yang bekerja sudah 6.171.000 orang sementara di periode sama 2016 tinggal 6.166.000 orang.

Peningkatan pengangguran itu tentunya memang disayangkan tetapi tidak bisa dielakkan karena sebagai dampak pengaruh krisis global dimana mengganggu industri menyusul daya beli masyarakat secara global juga menurun yang akhirnya juga memicu harga jual yang melemah.

Padahal, kata dia, kalau tidak ada krisis global, kemungkinan pengangguran bisa ditekan mengingat jumlah angkatan kerja dari Februari 2015 ke Februari 2016 tidak mengalami kenaikan yang signifikan.
Pada Februari 2015, angkatan kerja 6.593.000 sementara di periode sama 2016 hanya 6.594.000 orang.

Dia mengakui, hingga tahun ini, sektor terbesar menyerap pekerja masih pertanian sebesar 40,51 persen, disusul pengangkutan, rumah makan dan akomodasi 20,50 persen, jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan 16,81 persen.

Sedangkan sektor listrik, gas dan air minum hanya 0,28 persen. "Pekerja Sumut sendiri tetap masih terbesar lulusan SD (sekolah dasar) 30,11 persen, diploma 2,9 persen dan sarjana 7,61 persen," katanya.

Pelaksana Tugas Gubernur Sumut, H T Erry Nuradi sebelumnya mengaku, Pemerintah Provinsi Sumut terus berupaya menekan terus angka pengangguran dari 6,53 persen di 2013. "Pada tahun 2018, angka pengangguran terbuka itu diharapkan hanya tinggal 5 persen,"katanya.

Namun diakui, sejak krisis global sulit menekan angka pengangguran . "Mudah-mudahan pertumbuhan ekonomi terus membaik sehingga angka pengangguran bisa ditekan seperti yang diharapkan," katanya.

Pembangunan infrastruktur yang semakin banyak di Sumut diharapkan menjadi salah satu meningkatkan kembali penyerapan tenaga kerja.

Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, Laksamana Adiyaksa, menyebutkan, pengurangan tenaga kerja tidak bisa dielakan karena pengusaha kesulitan. "Sudah syukur tidak terjadi PHK massal mengingat industri di Sumut kesulitan mengekspor dan memasarkan di dalam negeri karena permintaan menurun dan harga jual melemah," katanya.



Angka Pengangguran Sarjana Meningkat Drastis

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2016 tercatat sebesar 5,5 persen. Ini berarti dari 100 angkatan kerja terdapat sekitar lima hingga enam orang penganggur.

Jika dibandingkan dengan kondisi periode sebelumnya yaitu pada Februari 2015, TPT mengalami penurunan sebesar 0,31 persen. Meski demikian, TPT untuk lulusan universitas atau sarjana (S1) justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Tercatat tingkat pengangguran Sarjana meningkat dari 5,34 persen pada Februari 2015 naik menjadi 6,22 persen pada Februari 2016.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, M. Sairi Hasbullah mengungkap faktor yang menyebabkan peningkatan pengangguran tersebut. Menurutnya, faktor terkuat adalah masih banyaknya sarjana yang idealis dalam memilih pekerjaan.

"Kalau sarjana punya aspirasi, punya selera, ada pilih-pilih pekerjaan dan sebagainya, tentu kalau tidak sesuai dengan spesifikasi yang bersangkutan, lebih baik menganggur dulu," kata Sairi di Kantor BPS Pusat, Rabu 4 Mei 2016.

Hal ini berbeda dengan masyarakat berpendidikan sekolah dasar (SD), yang cenderung mudah mendapat pekerjaan.

"Kalau bukan sarjana, misalnya tamatan SD, tidak akan menganggur, kenapa? Karena dia mau kerjaan apapun. Karena itu angka pengangguran sarjana selalu lebih tinggi dibanding yang bukan sarjana, dari tahun ke tahun begitu polanya," tutur dia.



BPS Beberkan Alasan Sarjana Indonesia Banyak Nganggur

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan angka pengangguran dari tingkat pendidikan di level universitas akan terus ada setiap tahunnya. Tamat sebagai sarjana, membuat mereka memilih pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya.

BPS mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada pendidikan universitas sebesar 6,22 persen periode Februari 2016 atau meningkat bila dibandingkan Febuari 2015 sebesar 5,34 persen.

"Itu hukumnya begitu, karena sarjana. Kalau bukan sarjana, hanya tamat SD saja ga akan nganggur karena apa, mereka mau kerja apapun dikerjakan. Kalau sarjana punya aspirasi, punya selera dan pilih-pilih pekerjaan,"ujar Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah, di Kantor BPS Pusat Jakarta, Rabu (4/5/2016).

Menurut Sairi, karena hal tersebutlah setiap tahun dan dapat dipastikan tingkat pengangguran dari tamatan universitas terus meningkat. "Kalau tidak sesuai kualifikasi pekerjaannya, mereka lebih pilih nganggur dulu, baru bekerja. Karena itu selalu angka pengangguran sarjana lebih tinggi," tuturnya.

BPS juga mencatat, selain TPT universitas, TPT Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih berada di level pencatat tingkat pengangguran terbanyak. BPS mencatat TPT Februari 2016 untuk SMK sebesar 7,22, di susui oleh TPT Diploma I,II, dan II sebesar 7,22 persen.

Sementara TPT terendah terdapat pada tingkat pendidikan SD ke bawah, yaitu 3,44 persen. Hal ini dikarenakan mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apapun, sementara mereka yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih pekerjaan yang sesuai.




DATA DINSOSNAKERTRANS, JUMLAH PENGANGGURAN TERUS NAIK

 Jumlah pengangguran di Kota Cirebon fluktuatif namun cenderung meningkat. Berdasarkan data dari Dinas sosial tenaga kerja dan transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Cirebon jumlah penggangguran bisa dilihat dari daftar pencari kerja yang dibuktikan dengan pembuatan kartu kuning (AK-1).

“Jumlahnya naik turun, tapi kecenderungannya belakangan ini naik,” ungkap Kepala Bidang Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja, H Bambang Sujatmiko SSos, kepada Radar, Selasa (26/4).

Berdasarkan klasifikasi pendidikan, tingkat pengangguran terbuka tertinggi dialami para lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sarjana. Data per Maret 2016, jumlah pengangguran untuk tingkat SMA ada 591 orang, SMK ada 2.331 orang dan Sarjana ada 4204.

“Sekolah kejuruan ini lulusannya adalah spesialis. Ketika lapangan pekerjaan sesuai dengan keahliannya tidak ada, dia sulit untuk mencari kerja ke sektor lain,” tuturnya.

Diungkapkan dia, banyak lulusannya tidak fleksibel. Untuk sarjana sendiri memang tiap tahun jumlah angkatan kerjanya selalu meningkat dan yang membuat kartu Ak-1 juga naik. Ada dua alasan yang menjadi penyebab peningkatan jumlah pengangguran yakni pemutusan hubungan kerja (PHK) serta daya serap yang menurun karena peningkatan jumlah angkatan kerja.

“Kebanyakan karena PHK dan kontraknya tidak diperpanjang. Hal itu terjadi karena terjadi penghematan ongkos produksi, akibat nilai tukar naik, maka ada pengurangan tenaga kerja,” katanya.

Untuk potensi dan struktur lapangan pekerjaan di Kota Cirebon, lanjut Bambang, lebih ke sektor perdagangan dan sektor jasa. Melihat perkembangan dan kemajuan potensi jasa di Kota Cirebon cukup besar, jumlah pencari kerja juga cukup seimbang. “Bisa dikatakan 60 persen bekerja didalam Kota Cirebon dan 40 persen diluar Kota Cirebon,” terangnya.

Sementara untuk menekan dan mengurangi angka pengangguran pihaknya mengklaim telah melakukan berbagai upaya seperti peningkatan kualitas SDM dan kualitas  pelaksanaan pemagangan. Hal itu, sebut Bambang dibuktikan dengan diadakannya pelatihan mengelas yang dilaksanakan oleh BKL Dinsonakertrans, job fair, pelatihan kursus menjahit, bordir, tata rias, tata boga dan lain-lain.

Selain diadakan di BLK, pelaksanaan pelatihan juga dilakukan di sejumlah kelurahan dengan mendatangkan instruktur ke kelurahan. Para peserta yang sebagian berstatus pengangguran tersebut selain memperoleh pengetahuan keterampilan juga mendapat bimbingan lanjutan.

“Setelah mendapatkan pelatihan, mereka selanjutnya melaksanakan magang kerja di berbagai tempat sesuai bidang keterampilannya. Bahkan, kami juga menyalurkan mereka ke sejumlah industri dan perusahaan melalui job fair,” paparnya.

Pelatihan ini, tambahnya, merupakan kegiatan rutin yang digelar oleh Dinsosnakertrans untuk seluruh warga usia produktif dan diutamakan dari keluarga tidak mampu. “Program ini dilakukan sebagai upaya mengurangi angka pengangguran, serta para pencari kerja tersebut siap bekerja dan cepat diserap oleh pasar kerja dan industri atau membuka lapangan kerja sendiri,” tandas Bambang.


Pengangguran Terbanyak Lulusan Sekolah Kejuruan dan Diploma

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2016 turun sebanyak 200 ribu orang dibandingkan Februari tahun lalu. Dalam rentang waktu yang sama, jumlah penganggur juga berkurang 430 ribu orang. Alhasil, tingkat pengangguran terbuka (TPT) menyusut 0,31 persen. Tingkat penganggur tertinggi merupakan lulusan pendidikan sekolah kejuruan dan diploma.

Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2016 sebesar 5,50 persen. Artinya, dari 100 angkatan kerja, terdapat sekitar 5 hingga 6 orang penganggur. Dilihat dari tingkat pendidikan, TPT untuk pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK) menduduki posisi tertinggi sebesar 9,84 persen, disusul oleh TPT Diploma I/II/III sebesar 7,22 persen. Dengan kata lain, 9 hingga 10 orang lulusan SMK saat ini menganggur.

“Lulusan SMK ini miss match (tidak sesuai) dengan kebutuhan perusahaan,” kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah dalam konferensi pers BPS di Jakarta, Rabu (4/5). Artinya, pendidikan keterampilan di SMK belum tentu sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam merekrut para pekerja. “Jangan-jangan belum match betul. Bukan tidak dibutuhkan

Sebaliknya, TPT terendah terdapat pada tingkat pendidikan SD ke bawah yaitu sebesar 3,44 persen. Penyebabnya, menurut Kepala BPS Suryamin, mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apapun. Sementara mereka yang berpendidikan lebih tinggi cenderung selektif dalam memilih pekerjaan yang sesuai.  

Secara umum, BPS mencatat, jumlah angkatan kerja pada Februari tahun ini berkurang 630 ribu orang dibandingkan setahun lalu menjadi 127,67 juta orang. Angkatan kerja ini mencerminkan jumlah penduduk yang secara aktual siap bekerja (usia 15 tahun ke atas). Itu terdiri dari 120,7 juta orang penduduk bekerja dan 7 juta orang penganggur.

Penurunan jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 200 ribu orang terutama terjadi pada tiga sektor usaha. Yaitu, sektor usaha pertanian menurun 1,83 juta orang, sektor industri atau manufaktur 410 ribu orang dan sektor keuangan 170 ribu orang.

Suryamin menyatakan, penyebab utama penurunan pekerja di sektor manufaktur adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di sektor itu. Sedangkan musim El-Nino mengganggu masa panen telah memukul sektor pertanian sehingga mendorong pekerjanya beralih ke sektor lain.

Apalagi, kehadiran teknologi di sektor tersebut memaksa terjadinya pengurangan tenaga kerja. “Berdasarkan informasi di lapangan, karena adanya teknologi pertanian yang masuk. Tadinya pakai cangkul, sekarang menjadi pakai traktor,” katanya.

Selain itu, jumlah pekerja di sektor konstruksi juga berkurang 1.000 orang meskipun belakangan ini pembangunan infrastruktur semakin marak. Suryamin menengarai, penurunan ini karena tenaga kerja yang dibutuhkan di sektor konstruksi adalah pekerja terampil, dan bukan yang berpendidikan rendah.

Di sisi lain, dia menilai, para pekerja itu beralih ke sektor lain yaitu sektor perdagangan seiring mulai meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Hal itu terlihat dari kenaikan jumlah penduduk bekerja di sektor perdagangan sebanyak 1,8 juta orang. Sedangkan sektor jasa kemasyarakatan bertambah sebanyak 380 ribu orang.






references by

http://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2016/05/04/angka-pengangguran-di-jabar-bertambah-368375
http://economy.okezone.com/read/2016/05/04/320/1380337/bps-beberkan-alasan-sarjana-indonesia-banyak-nganggur
 http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/768815-angka-pengangguran-sarjana-meningkat-drastis
http://katadata.co.id/berita/2016/05/04/pengangguran-terbanyak-lulusan-sekolah-kejuruan-dan-diploma
http://finansial.bisnis.com/read/20160504/9/544686/pengangguran-di-bali-pada-februari-2016-membeludak-ini-pemicunya
http://www.radarcirebon.com/data-dinsosnakertrans-jumlah-pengangguran-terus-naik.html